Presiden RI ke-3 ini telah menyumbangkan sebuah prestasi besar bagi kemajuan penerbangan bangsa Indonesia. Untuk pertama kalinya, Indonesia berhasil menerbangkan pesawat komersil buatan sendiri di bawah kementerian yang dipimpinnya kala itu.
Prof. DR. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, atau yang lebih dikenal sebagai B.J. Habibie, lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936. Beliau belajar teknik mesin di Institut Teknologi Bandung tahun 1954 dan melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang, di RWTH Aachen, Jerman Barat pada tahun 1955.
Habibie kembali ke Indonesia setelah mendapatkan gelar diplom ingenieur tahun 1960 dan bertemu dengan belahan jiwanya, Ibu Hasri Ainun Besari. Setelah menikah dengan Ibu Ainun tahun 1962, beliau mengajak istrinya untuk ikut ke Jerman demi melanjutkan pendidikannya di Jerman, dan mendapatkan gelar doktor ingenieur pada tahun 1965 dengan predikat summa cum laude.
Habibie pernah bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm, sebuah perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman, sehingga mencapai puncak karier sebagai seorang wakil presiden bidang teknologi. Pada tahun 1973, beliau kembali ke Indonesia atas permintaan presiden RI saat itu, Soeharto. Ia kemudian menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak tahun 1978 sampai Maret 1998. Sebelum menjabat sebagai presiden, B.J. Habibie adalah wakil presiden dalam Kabinet Pembangunan VII di bawah Presiden Soeharto. Ia diangkat menjadi ketua umum ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), pada masa jabatannya sebagai menteri.
Karyanya yang membuka jalan bagi kemajuan teknologi Indonesia yang mandiri adalah ketika diterbangkannya pesawat buatan anak negeri: N250. Habibie sengaja menamai pesawat tersebut dengan huruf N yang berarti Nusantara. Ini adalah impian Habibie sebagai seorang tokoh negarawan yang ingin membangun Indonesia sebagai negara yang mandiri. Namun, sayang impiannya terputus karena masalah dana. Proyek N250 terbengkalai begitu saja tanpa perhatian dari pemerintah kala itu.
Berbagai konflik ketika masa kepresidenannya, membuat Habibie memilih mundur dari jabatannya sebagai presiden untuk meredakan konflik yang terjadi di masyarakat saat itu. Setelah turun dari jabatannya sebagai presiden, ia lebih banyak tinggal di Jerman daripada di Indonesia. Tetapi ketika era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, ia diminta untuk kembali ke Indonesia untuk akif sebagai penasihat presiden.
Di balik kecerdasan dan ketegasannya, Habibie dikenal sebagai sosok suami yang sangat mencintai istrinya. Kisah hidupnya termasuk perjalanan cintanya bersama sang istri dituliskannya dalam sebuah buku berjudul "Habibie & Ainun". Karena itu, Habibie sangat terpukul ketika sang istri meninggal dunia. Sampai saat ini, Habibie rajin untuk berkunjung ke makam istrinya untuk sekadar mengobrol.
Kini, kehidupan Habibie dilalui dengan mengawal proses demokrasi di Indonesia lewat organisasi yang didirikannya, Habibie Center.
No comments:
Post a Comment