![]() |
ITB AHMAD DAHLAN JAKARTA |
Konsep Likuiditas Bank Syariah
=============================================================
=LIKUIDITRAS=
============================================================
Sejalan dengan perkembangan sektor perekonomian
syariah, banyaknya jumlah bank
konvensional yang dilikuidasi
menunjukkan bahwa tingkat likuiditas
sangat berperan penting
bagi bank. Walaupun
dalam hal ini belum ada kasus mengelola likuiditasnya
dengan sebaik mungkin. Risiko yang mungkin dihadapi suatu bank terhadap kondisi
likuiditasnya bisa disebut dengan resiko likuiditas. Kondisi Perbankan yang
mengalami kesulitan likuiditas mendorong dunia perbankan menaikkan suku bunga
yang tinggi guna menarik dana dari masyarakat seperti kasus moneter 1997 lalu,
bahkan perbankan menawarkan kepada peminjam kredit dengan suku bunga mencapai lebih dari
60%.
Hal ini mengakibatkan
bagi pelaku usaha
yang ingin meminjam
dana sehingga banyak bank yang mudah diguncang isu yang menyebabkan rush
dan berkurangnya kepercayaan rakyat
terhadap bank. Guna
menjamin dan memulihkan
kepercayaan tersebut banyak bank yang ditutup atau diambilalih oleh pemerintah.
Karenanya dibutuhkan biaya yang besar melalui program restrukturisasi dan
rekapitalisasi perbankan seperti
(BLBI) Bantual Likuiditas Bank Indonesia.
Keberadaan sistem perbankan syariah ini
sejalan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang
menentukan kegiatan usaha bank harus
disempurnakan dan menerapkan
prinsip kehati-hatian. Landasan operasional sistem perbankan syariah
semakin kuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992 yang
telah diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1999 tentang Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Sejak saat itulah diberi kesempatan
seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk memberi kesempatan kepada
Bank Umum untuk membuka kantor cabangnya yang khusus melakukan kegiatan
berdasarkan prinsip syariah. Kemudian dengan diberlakukannya Undang-undang
Nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia, berlakulah dua sistim dalam perbankan yang dilakukan
secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah ( dual banking syistem
), dan khusus bagi bank syariah hanya menggunakan prinsip syariah. Bahkan
ditambah lagi dengan adanya undang undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan
syariah maka arah menuju perbankan bebas riba diharapkan lebih cepat tercapai
di bumi nusantara.
Dalam pengembangan
sektor ekonomi pembangunan sekarang ditemui
banyak metode dalam manajemen dana khususnya pengelolaan likuiditas pada
lembaga lembaga keuangan, baik itu bank
maupun non bank, baik itu syariah maupun konvensional. Pengelolaan likuiditas ini sangatlah berpengaruh pada
perkembangan lembaga itu sendiri dan perekonomian
negara secara luas.
Seperti krisis
sektor keuangan di
tahun 1997
(krismon), yang
terjadi pada
waktu itu
merupakan salah satu
dampak dari masalah likuiditas suatu lembaga keuangan
dalam menangani aliran sumber dana dan
pengarunya secara luas terlihat pada perkembangan pasar
surat-surat berharga, sektor perbankan dan lebih jauh lagi
pada
sektor riil, dan
berdampak krisis
ekonomi global.
Masalah
pengelolan likuiditas adalah masalah
yang berhubungan dengan kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya yang
segera harus dipenuhi. Jumlah alat-alat
pembayaran (alat likuid) yang dimiliki oleh
suatu perusahaan
pada suatu saat merupakan
kekuatan
membayar dari perusahaan
yang bersangkutan. Suatu
perusahaan yang mempunyai kekuatan membayar belum tentu dapat memenuhi
segala
kewajiban
finansialnya yang
segera harus
dipenuhi atau dengan kata lain perusahaan tersebut belum tentu
memiliki kemampuan
membayar.
Kemampuan membayar
baru terdapat pada perusahaan apabila kekuatan
membayarnya adalah demikian besarnya
sehingga dapat memenuhi semua
kewajiban finansialnya
yang segera harus dipenuhi (Riyanto, 2001). Dengan demikian, maka kemampuan membayar
itu dapat diketahui setelah
membandingkan kekuatan membayarnya di satu pihak dengan kewajiban-
kewajiban
finansialnya yang segera
harus dipenuhi
di lain pihak.
Secara umum, pengertian likuditas adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dana (cash flow) dengan segera dan dengan biaya yang sesuai, dimana
fungsi dari likuditas secara umum untuk (Riyanto, 2001): pertama, enjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari. Kedua, mengatasi kebutuhan dana yang mendesak. Ketiga, memuaskan permintaan
nasabah akan pinjaman dan memberikan
fleksibiltas dalam meraih
kesempatan investasi menarik yang menguntungkan.
Sedangkan menurut kamus besar Bahasa
Indonesia pengertian likuiditas
pada umumnya adalah mengenai
posisi uang kas suatu perusahaan dan
kemampuannya untuk memenuhi kewajiban (membayar utang) yang jatuh tempo tepat
pada waktunya. Apabila dikaitkan dengan lembaga bank, berarti kemampuan bank setiap waktu umtuk membayar utang jangka pendeknya apabila tiba-tiba
ditagih oleh nasabah atau pihak-pihak
terkait. Jadi, yang dimaksud
likuiditas disini adalah kemudahan mengubah aset menjadi uang
tunai dari masing-masing
bank yang bersangkutan.
Konsep likuiditas ini
juga diperluas dengan memasukan unsur pinjaman,
yaitu kemampuan untuk
mendapatkan likuiditas baik
tunai maupun non tunai
melalui pinjaman dari sumber-sumber ekstern perusahaan. Kemudahan mendapatkan likuiditas
adalah merupakan hal yang sangat penting bagi manajemen keuangan,
semua jenis kegiatan bisnis, namun pada lembaga keuangan bank
penyedian llikuiditas merupakan hal yang lebih penting karena untuk memenuhi
adanya
permintaan
penarikan
dana sewaktu-waktu para
nasabah.
Selain menjaga ketersediaan likuiditas,
setiap bank juga harus mematuhi
ketentuan atau syarat
yang diterapkan
oleh BI yakni Giro Wajib Minimum (GWM).
Pengelolaan
likuiditas bagi suatu bank mengacu pada kemampuan bank menyediakan dana dalam jumlah cukup, tepat waktu untuk
memenuhi kewajiban kewajibannya terutama memenuhi ketentuan bank sentral atau pemerintah, terbinanya hubungan baik dengan bank
koresponden agar saldo seimbang, memenuhi kebutuhan penarikan dana oleh
penabung, pemilik rekening giro
maupun debitur dan membayar kewajiban jangka panjang yang telah
jatuh tempo (Leon
dan Ericson, 2007).
Manajemen
likuiditas bank
dapat diartikan sebagai suatu
proses
pengendalian dari alat-alat likuid
yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua
kewajiban bank yang segera harus dibayar.
Pengendalian likuiditas bank setiap
hari berupa penjagaan agar semua alat alat likuid yang dapat dikuasai oleh bank
(uang tunai kas, saldo bank
pada bank
sentral) dapat dipergunakan untuk
memenuhi munculnya tagihan dari nasabah atau
masyarakat yang
datang setiap saat atau sewaktu waktu (Sinungan, 1993).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manajemen likuiditas bank adalah
kemampuan
dari
suatu bank
untuk membiayai
peningkatan aset yang
sesuai dengan kewajibannya pada saat jatuh tempo. Likuiditas sangat penting bagi keberlangsungan operasi bank karena itu di perlu manajemen dan pengelolaan yang
efektif
untuk
menghindari terjadinya permasalahan yang serius dikemudian hari. Kekurangan likuiditas pada suatu bank dapat mengakibatkan pengaruh yang
lebih luas dan berdampak negatif pada sistem perbankan.
Pengelolaan likuiditas
adalah kegiatan yang rutin
dalam operasi
bank dimana dana yang
dikelola
sebagian besar adalah dana pihak ketiga yang sifatnya sangat berfluktuasi. Bank
harus memperhitungkan dengan cermat kebutuhan likuiditas untuk suatu jangka waktu tertentu
karena kebutuhan likuiditas sangat dipengaruhi oleh perilaku
nasabah dan jenis sumber dana
yang dikelola bank.
Kesulitan likuiditas seringkali menjadi tanda-tanda awal
bahwa
suatu bank akan mengalami kesulitan
finansial yang lebih serius.
Kesulitan ini
biasanya
diawali dengan turunnya simpanan (depposite) masyarakat yang menyebabkan
kekurangan alat likuid sehingga terpaksa harus melakukan pinjaman
antar bank dan menjual aktiva cadangannya. Kesulitan itu akan bertambah
parah jika bank- bank
lain mulai menolak memberikan bantuan atau
pinjaman kepada bank-bank yang bermasalah. Dalam keadaan
sulit bank cenderung
akan berusaha memperoleh pinjaman
dana dengan biaya berapapun untuk menjaga citranya. Kemampuan ini berarti
bank
mengorbankan profit untuk kepentingan likuiditas. Kemampuan bank dalam mengelola likuiditasnya secara baik dapat menjamin terpenuhinya kewajiban secara tertib sehingga bank
itu akan terhindar dari resiko
biaya
pinjaman
yang tinggi.
Adapun tujuan
manajemen likuiditas adalah untuk (Leon
dan Ericson,
2007): pertama, menjaga posisi likuiditas bank agar selalu berada pada posisi yang
Sumber :
Ø Karim, Adiwarman. A. 2010. Bank Islam Analisi fiqih
dan Keuangan. Jakarta: PT.Grafindo
Persada
Ø Arifin, Zainul. 2000. Memahami Bank Syariah.
Jakarta :Pustaka Alfabet . 2009. Dasar
Dasar Manajemen Bank
Syariah. Jakarta: Azkia Publisher.
Ø Muhammad. 2004. Manajemen Dana Bank Syari’ah.
Yogyakarta: Jalasutra
ditentukan oleh otoritas moneter
yaitu Bank Indonesia. Kedua, mengelola alat alat likuid
agar selalu memenuhi semua kebutuhan arus kas termasuk
kebutuhan yang tidak
diperkirakan, misalnya penarikan yang
tiba-tiba terhadap sejumlah giro atau
deposito berjangka yang
belum jatuh tempo. Ketiga, meminimalkan idle fund (dana
yang menganggur). Keempat, menjaga posisi likuiditas dan proyeksi arus kas agar
selalu dalam posisi aman terutama dalam tingkat bunga
berfluktuatif.
Selain
tujuan di atas,
menurut Sinkey ada lima fungsi utama manajemen
likuiditas bank, yaitu (Latumaerisa:
1999):
1. Menunjukan
dirinya sebagai
tempat
yang aman untuk menyimpan
uang.
Mampu memberikan rasa aman kepada para nasabah deposan, penabung, maupun kreditor lainnya. Fungsi utama likuiditas adalah jaminan bahwa uang
yang disimpan/dipinjamkan kepada bank
dapat dibayar
kembali oleh bank tersebut
pada
saat jatuh tempo.
2. Memungkinkan
bank
memenuhi komitmen
pinjamannya.
Menjamin
tersedianya dana bagi
setiap pemohon kredit
yang telah disetujui. Jika bank menolak
untuk menyediakan dana atas permohonan kredit yang
telah
disetujui,
mungkin
debitor akan
lari ke
bank
lain. Sebaiknya bank mampu mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan para debitor
di masa mendatang.
3. Untuk menghindari penjualan
aktiva yang tidak menguntungkan
Mencegah penjualan asset secara terpaksa. Apabila bank tidak dapat memperpanjang
pinjaman yang
diterima dari bank
lain, salah satu cara
untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan terpaksa menjual surat
berharga yang umumnya dengan harga rendah. Hal itu jelas
akan memperburuk tingkat modal
bank
tersebut.
4. Untuk
menghindarkan diri dari penyalahgunaan kemudahan atau kesan “negative” dari penguasa moneter karena meminjam
dana likuiditas dari
bank
sentral.
Menghindari diri dari kewajiban membayar suku bunga yang tinggi atas dana yang
diperoleh di pasar uang. Pemilik dana menganggap bahwa
menempatkan/meminjamkan dana pada bank beresiko tinggi. Oleh karena itu, pemilik
dana akan selektif
dan
mungkin akan menempatkan dananya dengan suku bunga yang tinggi.
5. Memperkecil penilaian risiko ketidakmampuan membayar kewajiban
penarikan dana.
Menghindarkan diri dari penggunaan
fasilitas discount window secara
terpaksa.
Semakin sering suatu bank
menggunakan fasilitas discount window, semakin tidak bebas manajemen bank tersebut menentukan dan
melaksanakan kebijakan usahanya. Hal itu karena bank sentral akan mendikte manajemen bank tersebut untuk memperbaiki tingkat kesehatan
banknya.
Dengan demikian ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengelola
likuiditas, yaitu:
a) Posisi likuiditas harian/mingguan
harus dapat
dijaga sesuai
dengan
ketentuan bank sentral.
b) Memelihara alat
likuiditas
secukupnya agar bank selalu
dapat
melindungi kebutuhan kas keluar yang tidak terduga
sebelumnya.
c) Mengoperasikan
kelebihan likuiditas secara
efektif
agar bank
selalu dapat melindungi kebutuhan kas
keluar yang tidak
terduga sebelumnya.
d) Menentukan besarnya reserve yang diperlukan dalam primary reserve
dan secondary
reserve.
Teori manajemen
likuiditas pada dasarnya
adalah teori yang berkaitan
dengan bagaimana mengelola dana dan sumber-sumber dana bank agar
dapat
memelihara posisi likuiditas dan memenuhi
segala kebutuhan likuiditas dalam
kegiatan
operasional
bank sehari-sehari.
Beberapa teori
manajemen
likuiditas
yang dikenal dalam dunia
perbankan
antara
lain dibawah ini
(Sinungan, 1993):
1. Commercial loan theory.
Teori ini
beranggapan bahwa bank-bank
hanya boleh memberikan
pinjaman dengan surat dagang jangka pendek yang dapat dicairkan dengan sendirinya
(self liquidating).
Teori ini dikenal juga dengan istilah productive
theory of credit, atau sering
disebut real bills doctrine yang diperkenalkan sejak abad
18.
Teori ini cukup
dominan sampai tahun
1920-an. Pada prinsipnya teori ini menitikberatkan sisi
aktiva dari neraca
bank
dalam memenuhi kebutuhan likuiditas bank. Likuiditas bank menurut teori ini akan dapat terjamin apabila
aktiva produktif bank yang terdiri dari kredit jangka pendek dicairkan dalam
kegiatan usaha yang berjalan secara normal. Dan apabila bank
yang bersangkutan akan memberikan kredit yang
lebih panjang, hendaknya
sumber
data diambil dari modal bank
dan
sumber dana jangka panjang.
Secara khusus teori menyatakan bahwa bank
harus memberikan kredit jangka pendek atau self- liquidating
loans, seperti kredit yang digunakan untuk modal
kerja usaha untuk memproses suatu produksi secara musiman atau yang
bersifat sementara, misalnya pertanian. Sebelum tahun 1920an
bank-bank menitikberatkan portofolio kreditnya sebagai sumber tambahan likuiditas karena saat itu tidak
banyak
alternative lain sebagai sumber- sumber likuiditas. Surat-surat berharga jangka pendek
yang dapat dijual
kembali
bila bank
membutuhkan likuiditas jumlahnya
belum memadai untuk dapat dijadikan sebagai cadangan likuiditas (Siamat,
2005). Kelemahan commercial loan
theory ini sebagai sumber likuiditas bank
adalah:
a)
Banyak kredit bukan jangka pendek dan
tidak self liquidating
b) Dalam situasi
ekonomi yang
sedang lesu,
kredit modal
kerja,yang pelunasannya
berasal
dari arus
kas nasabah debitur,
akan menjadi tidak lancar.
c) Kredit
jangka
pendek
dapat
menjadi
jangka panjang
melalui
perpanjangan waktu secara terus
menerus
d) Dalam perekonomian yang semakin maju,
kredit
jangka
menengah/panjang akan menjadi semakin
penting dan
dibutuhkan
e) Teori ini mengabaikan kenyataan
bahwa dalam keadaan normal atau stabil, sumber-sumber
dana bank, misalnya : giro, deposito, tabungan
dan
sebagainya, memungkinkan untuk disalurkan sebagai kredit yang
jangka
waktunya
lebih panjang.
Secara implisit teori ini menganggap bahwa
likuiditas dapat terpenuhi dengan
hanya mengandalakan sumber dari pelunasan dan atau pembayaran kredit oleh nasabah. Padahal penarikan simpanan dan
pencairan kredit dapat melebihi likuiditas yang hanya bersumber dari
pelunasan
kredit.
2. Shiftability
theory.
Teori ini beranggapan bahwa likuiditas sebuah bank tergantung
pada
kemampuan bank
untuk memindahkan aktivanya ke orang lain dengan
harga yang dapat
diramalkan.
Pada tahun 1920-an,
bank mengembangkan teori likuiditas sebagai
reaksi
dari banyaknya kelemahan pada teori commercial loan, yaitu doctrine of asset shiftability. Menurut teori ini, bank dapat segera memenuhi kebutuhan likuiditasnya dengan memberikan shiftable loan atau
call loan,
yaitu pinjaman yang harus dibayar dengan pemberitahuan satu atau beberapa
hari sebelumnya dengan jaminan surat surat berharga. Oleh karena itu,
apabila bank
membutuhkan likuiditas pada suatu waktu, maka kebutuhan
tersebut dapat dipenuhi dengan melakukan penagihan kepada peminjam
atau debitur. Peminjam
kemudian dapat melunasi pinjaman tersebut baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan cara mengalihkan (shifting)
pinjamannya tersebut kepada bank lain.
Apabila karena satu dan lain alasan
pinjaman tersebut tidak
dapat dibayar kembali, maka bank
dapat menjual barang jaminan berupa surat-surat berharga untuk pelunasannya. Doktrin
ini akan dapat berfungsi apabila pasar keuangan sudah berkembang dan
cukup aktif (likuid), dengan pengertian bahwa berapapun jumlah permintaan dan
penawaran dapat
diserap oleh pasar.
Kelemahan teori ini
adalah
apabila
dalam waktu yang
bersamaan bank-
bank membutuhkan likuiditas dan menjual jaminan surat-surat berharga tersebut untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Dalam situasi seperti ini,
bukan saja akan menyebabkan kredit tersebut tidak dapat dialihkan,
tapi
juga akan menyebabkan turunya harga surat berharga karena bank-
bank
menjual jaminannya
(surat berharga) dalam waktu yang bersamaan.
3. Anticipated income theory.
Disebut juga teori pendapatan yang diharapkan. Teori ini
berkesimpulan bahwa sama sekali benar
bagi sebuah bank untuk
memberikan pinjaman- pinjaman jangka panjang dan
pinjaman-pinjaman bukan untuk dagang.
Pada
decade 1930 an dan
1940 an bank-bank mengembangkan
teori baru yang disebut
dengan anticipated
income theory. Teori ini menyatakan bahwa bank-bank
seharusnya dapat memberikan kredit jangka panjang dimana pelunasannya, yaitu
cicilan pokok pinjaman ditambah bunga, dapat
diharapkan dan dijadwalkan pembayarannya pada waktu yang
akan datang sesuai dengan jangka waktu yang
telah ditetapkan. Jadwal pembayaran kembali nasabah berupa angsuran pokok dan bunga akan memberikan cash
flow secara teratur yang dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan likuiditas bank. Timbulnya teori ini diawali oleh rendahnya permohonan kredit kepada bank yang mengakibatkan terjadinya kelebihan likuiditas dan
rendahnya keuntungan yang diperoleh bank , khususnya pada saat terjadi depresi ekonomi. Dengan diperkenalkannya anticipated theory,
bank-bank terdorong untuk lebih
agresif dengan berani memberikan kredit yang
berjangka panjang, misalnya: kredit real etate, kredit investasi
dan
kredit konsumsi.
Kelemahan anticipated
income theory yaitu, teori ini menganggap semua
kredit dapat ditagih sesuai dengan waktu yang dijadwalkan tanpa memperhatikan
kemungkinan terjadinya kegagalan pengembalian
kredit
oleh debitur akibat factor
ekstrern dan atau intern. Factor
– factor
ekstern terjadi diluar kendali nasabah,
misalnya terjadi resesi ekonomi yang
berkepanjangan dan kebijakan pemerintah yang kurang mendukung. Factor intern antara lain terjadinya mismanagement atau karena kurangnya tenaga
yang berpengalaman dan terampil dalam perusahaan. Teori likuiditas ini
sulit diharapkan sebagai sumber
likuiditas minimum dan memenuhi
kebutuhan
permintaan kredit yang segera
harus
dipenuhi.
4. Liabilty management theory.
Teori ini melihat struktur aktiva bank
mempunyai peran mencolok
yang harus dimainkan dalam menyediakan
likuiditas untuk bank. Teori ini juga terus melampaui cara pendekatan
dengan
satu dimensi dan menyatakan
bahwa
bank
juga dapat menggunakan aktivanya
untuk tujuan-tujuan
likuiditas.
No comments:
Post a Comment