Sunday, 19 June 2022

ARTIKEL TENTANG LIKUIDITAS

 

ITB AHMAD DAHLAN JAKARTA


Konsep  Likuiditas Bank Syariah

=============================================================

=LIKUIDITRAS=

============================================================

 

 

Sejalan dengan perkembangan sektor perekonomian syariah, banyaknya   jumlah   bank   konvensional   yang   dilikuidasi   menunjukkan   bahwa tingkat  likuiditas  sangat  berperan  penting  bagi  bank.  Walaupun  dalam  hal  ini belum ada kasus mengelola likuiditasnya dengan sebaik mungkin. Risiko yang mungkin dihadapi suatu bank terhadap kondisi likuiditasnya bisa disebut dengan resiko likuiditas. Kondisi Perbankan yang mengalami kesulitan likuiditas mendorong dunia perbankan menaikkan suku bunga yang tinggi guna menarik dana dari masyarakat seperti kasus moneter 1997 lalu, bahkan perbankan menawarkan  kepada  peminjam kredit dengan suku bunga  mencapai lebih dari

60%.  Hal  ini  mengakibatkan  bagi  pelaku  usaha  yang  ingin  meminjam  dana sehingga banyak bank yang mudah diguncang isu yang menyebabkan rush dan berkurangnya  kepercayaan  rakyat  terhadap  bank.  Guna  menjamin  dan memulihkan kepercayaan tersebut banyak bank yang ditutup atau diambilalih oleh pemerintah. Karenanya dibutuhkan biaya yang besar melalui program restrukturisasi  dan  rekapitalisasi  perbankan  seperti  (BLBI)  Bantual  Likuiditas Bank Indonesia.

Keberadaan sistem perbankan syariah ini sejalan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menentukan kegiatan usaha bank harus  disempurnakan  dan  menerapkan  prinsip  kehati-hatian.  Landasan operasional sistem perbankan syariah semakin kuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992 yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1999 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Sejak saat itulah diberi kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk memberi kesempatan kepada Bank Umum untuk membuka kantor cabangnya yang khusus melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Kemudian dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, berlakulah dua sistim dalam perbankan yang dilakukan secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah ( dual banking syistem ), dan khusus bagi bank syariah hanya menggunakan prinsip syariah. Bahkan ditambah lagi dengan adanya undang undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan syariah maka arah menuju perbankan bebas riba diharapkan lebih cepat tercapai di bumi nusantara.

 

Dalam pengembangan sektor ekonomi pembangunan sekarang ditemui banyak metode  dalam manajemen dana khususnya pengelolaan likuiditas pada lembaga lembaga keuangan, baik itu bank maupun non bank, baik itu syariah maupun konvensional. Pengelolaan likuiditas ini sangatlah berpengaruh pada perkembangan lembaga itu sendiri dan perekonomian negara secara luas. Seperti krisis  sektor  keuangan  di  tahun  1997  (krismon),  yang  terjadi  pada  waktu  itu


 

merupakan salah satu dampak dari masalah likuiditas suatu lembaga keuangan dalam menangani aliran sumber dana dan pengarunya secara luas terlihat pada perkembangan pasar surat-surat berharga, sektor perbankan dan lebih jauh lagi pada sektor riil,  dan berdampak krisis ekonomi global.

Masalah pengelolan likuiditas adalah masalah yang berhubungan dengan kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi. Jumlah alat-alat pembayaran (alat likuid) yang dimiliki oleh suatu   perusahaan   pada   suatu   saat   merupakan   kekuatan   membayar   dari perusahaan yang bersangkutan. Suatu perusahaan yang mempunyai kekuatan membayar  belum  tentu  dapat  memenuhi  segala  kewajiban  finansialnya  yang segera  harus  dipenuhi  atau dengan kata lain perusahaan tersebut belum tentu memiliki kemampuan membayar.

Kemampuan membayar baru terdapat pada perusahaan apabila kekuatan membayarnya adalah demikian besarnya sehingga dapat memenuhi semua kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi (Riyanto, 2001). Dengan demikian, maka kemampuan membayar itu dapat diketahui setelah membandingkan kekuatan membayarnya di satu pihak dengan kewajiban- kewajiban finansialnya yang segera harus dipenuhi di lain pihak.

Secara  umum,  pengertian likuditas adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dana (cash flow) dengan segera dan dengan biaya yang sesuai, dimana fungsi dari likuditas secara umum untuk (Riyanto, 2001): pertama,   enjalankan transaksi bisnisnya sehari-hari. Kedua, mengatasi kebutuhan dana yang mendesak. Ketiga, memuaskan permintaan nasabah akan pinjaman dan memberikan fleksibiltas dalam meraih kesempatan investasi menarik yang menguntungkan.

Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia pengertian likuiditas

pada umumnya adalah mengenai posisi uang kas suatu perusahaan dan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban (membayar utang) yang jatuh tempo tepat pada waktunya. Apabila dikaitkan dengan lembaga bank, berarti kemampuan bank setiap  waktu umtuk membayar utang jangka pendeknya apabila tiba-tiba ditagih oleh nasabah atau pihak-pihak terkait. Jadi, yang dimaksud likuiditas disini adalah kemudahan mengubah aset menjadi uang tunai dari masing-masing bank yang bersangkutan.

Konsep likuiditas ini juga diperluas dengan memasukan unsur pinjaman, yaitu kemampuan untuk mendapatkan likuiditas baik tunai maupun non tunai melalui pinjaman dari sumber-sumber ekstern perusahaan. Kemudahan mendapatkan   likuiditas   adalah   merupakan   hal   yang   sangat   penting   bagi manajemen keuangan, semua jenis kegiatan bisnis, namun pada lembaga keuangan bank penyedian llikuiditas merupakan hal yang lebih penting karena untuk memenuhi  adanya  permintaan  penarikan  dana  sewaktu-waktu  para  nasabah. Selain   menjaga   ketersediaan   likuiditas,   setiap   bank   juga   harus   mematuhi ketentuan atau syarat yang diterapkan oleh BI yakni Giro Wajib Minimum (GWM).


 

Pengelolaan likuiditas bagi suatu bank mengacu pada kemampuan bank menyediakan dana dalam jumlah cukup, tepat waktu untuk memenuhi kewajiban kewajibannya terutama memenuhi ketentuan bank sentral atau pemerintah, terbinanya hubungan baik dengan bank koresponden agar saldo seimbang, memenuhi kebutuhan penarikan dana oleh penabung, pemilik rekening giro maupun debitur dan membayar kewajiban jangka panjang yang telah jatuh tempo (Leon dan Ericson, 2007).

Manajemen  likuiditas  bank  dapat  diartikan  sebagai  suatu  proses pengendalian dari alat-alat likuid yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang segera harus dibayar.   Pengendalian likuiditas bank setiap hari berupa penjagaan agar semua alat alat likuid yang dapat dikuasai oleh bank (uang tunai kas, saldo bank pada bank sentral) dapat dipergunakan untuk memenuhi munculnya tagihan dari nasabah atau masyarakat yang datang setiap saat atau sewaktu waktu (Sinungan, 1993).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manajemen likuiditas bank adalah  kemampuan  dari  suatu  bank  untuk  membiayai  peningkatan  aset  yang sesuai dengan kewajibannya pada saat jatuh tempo. Likuiditas sangat penting bagi keberlangsungan operasi bank karena itu di perlu manajemen dan   pengelolaan yang efektif untuk menghindari terjadinya permasalahan yang serius dikemudian hari. Kekurangan likuiditas pada suatu bank dapat mengakibatkan pengaruh yang lebih luas dan berdampak negatif pada sistem perbankan. Pengelolaan likuiditas adalah  kegiatan  yang  rutin  dalam  operasi  bank  dimana  dana  yang  dikelola sebagian besar adalah dana pihak ketiga yang sifatnya sangat berfluktuasi. Bank harus memperhitungkan dengan cermat kebutuhan likuiditas untuk suatu jangka waktu tertentu karena kebutuhan likuiditas sangat dipengaruhi oleh perilaku nasabah dan jenis sumber dana yang dikelola bank.

 

Kesulitan likuiditas seringkali menjadi tanda-tanda awal bahwa suatu bank akan  mengalami  kesulitan  finansial  yang  lebih  serius.  Kesulitan  ini  biasanya diawali dengan turunnya simpanan (depposite) masyarakat yang menyebabkan kekurangan alat likuid sehingga terpaksa harus melakukan pinjaman antar bank dan menjual aktiva cadangannya. Kesulitan itu akan bertambah parah jika bank- bank lain mulai menolak memberikan bantuan atau pinjaman kepada bank-bank yang  bermasalah.  Dalam  keadaan  sulit  bank  cenderung  akan  berusaha memperoleh pinjaman dana dengan biaya berapapun untuk menjaga citranya. Kemampuan ini berarti bank mengorbankan profit untuk kepentingan likuiditas. Kemampuan bank dalam mengelola likuiditasnya secara baik dapat menjamin terpenuhinya kewajiban secara tertib sehingga bank itu akan terhindar dari resiko biaya pinjaman yang tinggi.

Adapun  tujuan  manajemen  likuiditas  adalah  untuk  (Leon  dan  Ericson,

2007): pertama, menjaga posisi likuiditas bank agar selalu berada pada posisi yang

 

 

 

Sumber :

 

Ø  Karim, Adiwarman. A. 2010. Bank Islam Analisi fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT.Grafindo Persada

Ø  Arifin, Zainul. 2000. Memahami Bank Syariah. Jakarta :Pustaka Alfabet .   2009.   Dasar   Dasar   Manajemen   Bank   Syariah.   Jakarta:   Azkia Publisher.

Ø  Muhammad. 2004. Manajemen Dana Bank Syari’ah. Yogyakarta: Jalasutra

 


 

ditentukan oleh otoritas moneter yaitu Bank Indonesia. Kedua, mengelola alat alat likuid agar selalu memenuhi semua kebutuhan arus kas termasuk kebutuhan yang tidak diperkirakan, misalnya penarikan yang tiba-tiba terhadap sejumlah giro atau deposito berjangka yang belum jatuh tempo. Ketiga, meminimalkan idle fund (dana yang menganggur). Keempat, menjaga posisi likuiditas dan proyeksi arus kas agar selalu dalam posisi aman terutama dalam tingkat bunga berfluktuatif.

Selain tujuan di atas, menurut Sinkey ada lima fungsi utama   manajemen likuiditas bank, yaitu (Latumaerisa: 1999):

1.   Menunjukan dirinya sebagai tempat yang aman untuk menyimpan uang.

Mampu memberikan rasa aman kepada para nasabah deposan, penabung, maupun kreditor lainnya. Fungsi utama likuiditas adalah jaminan bahwa uang yang disimpan/dipinjamkan kepada bank dapat dibayar kembali oleh bank tersebut pada saat jatuh tempo.

2.   Memungkinkan bank memenuhi komitmen pinjamannya.

Menjamin   tersedianya   dana   bagi   setiap   pemohon   kredit   yang   telah disetujui.  Jika  bank menolak untuk menyediakan dana atas permohonan kredit  yang  telah  disetujui,  mungkin  debitor  akan  lari  ke  bank  lain. Sebaiknya bank mampu mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan  para debitor di masa mendatang.

3.   Untuk menghindari penjualan aktiva yang tidak menguntungkan

Mencegah penjualan asset secara terpaksa. Apabila bank tidak dapat memperpanjang pinjaman yang diterima dari bank lain, salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan terpaksa menjual surat berharga yang umumnya dengan harga rendah. Hal itu jelas akan memperburuk tingkat modal bank tersebut.

4.  Untuk menghindarkan diri dari penyalahgunaan kemudahan atau kesan negative” dari penguasa moneter karena meminjam dana likuiditas dari bank sentral.

Menghindari diri dari kewajiban membayar suku bunga yang tinggi atas dana yang diperoleh di pasar uang. Pemilik dana   menganggap bahwa menempatkan/meminjamkan dana pada bank beresiko tinggi. Oleh karena itu, pemilik dana akan selektif dan mungkin akan menempatkan dananya dengan suku bunga yang tinggi.

5. Memperkecil penilaian risiko ketidakmampuan membayar kewajiban penarikan dana.

Menghindarkan diri dari penggunaan fasilitas discount window secara terpaksa.   Semakin   sering   suatu   bank   menggunakan   fasilitas   discount window, semakin tidak bebas manajemen bank tersebut menentukan dan melaksanakan kebijakan usahanya. Hal itu karena bank sentral akan mendikte manajemen bank tersebut untuk memperbaiki tingkat kesehatan banknya.


 

Dengan demikian ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengelola likuiditas, yaitu:

a)  Posisi  likuiditas  harian/mingguan  harus  dapat  dijaga  sesuai  dengan

ketentuan bank sentral.

b)  Memelihara   alat   likuiditas   secukupnya   agar   bank   selalu   dapat melindungi kebutuhan kas keluar yang tidak terduga sebelumnya.

c)   Mengoperasikan  kelebihan  likuiditas  secara  efektif  agar  bank  selalu dapat  melindungi  kebutuhan  kas  keluar  yang  tidak  terduga sebelumnya.

d)  Menentukan besarnya reserve yang diperlukan dalam primary reserve

dan secondary reserve.

Teori manajemen likuiditas pada dasarnya adalah teori yang berkaitan dengan bagaimana mengelola dana dan sumber-sumber dana bank agar dapat memelihara posisi likuiditas dan memenuhi segala kebutuhan likuiditas dalam kegiatan  operasional  bank  sehari-sehari.  Beberapa  teori  manajemen  likuiditas yang dikenal dalam dunia perbankan antara lain dibawah ini (Sinungan, 1993):

1.       Commercial loan theory.

Teori   ini   beranggapan   bahwa   bank-bank   hanya   boleh   memberikan pinjaman dengan surat dagang jangka pendek yang dapat dicairkan dengan sendirinya (self liquidating).

Teori ini dikenal juga dengan istilah productive theory of credit, atau sering disebut real bills doctrine yang diperkenalkan sejak abad 18. Teori ini cukup dominan sampai tahun 1920-an. Pada prinsipnya teori ini menitikberatkan sisi aktiva dari neraca bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditas bank. Likuiditas bank menurut teori ini akan dapat terjamin apabila aktiva produktif bank yang terdiri dari kredit jangka pendek dicairkan dalam kegiatan usaha yang berjalan secara normal. Dan apabila bank yang bersangkutan akan memberikan kredit yang lebih panjang, hendaknya sumber data diambil dari modal bank dan sumber dana jangka panjang. Secara khusus teori menyatakan bahwa bank harus memberikan kredit jangka pendek atau self- liquidating loans, seperti kredit yang digunakan untuk modal kerja usaha untuk memproses suatu produksi secara musiman atau yang bersifat sementara, misalnya pertanian. Sebelum tahun 1920an bank-bank menitikberatkan portofolio kreditnya sebagai sumber tambahan likuiditas karena saat itu tidak banyak alternative lain sebagai sumber- sumber likuiditas. Surat-surat berharga jangka pendek yang dapat dijual kembali  bila  bank  membutuhkan  likuiditas  jumlahnya  belum  memadai untuk dapat dijadikan sebagai cadangan likuiditas (Siamat, 2005). Kelemahan commercial loan theory ini sebagai sumber likuiditas bank adalah:

a)    Banyak kredit bukan jangka pendek dan tidak self liquidating


 

b)   Dalam  situasi  ekonomi  yang  sedang  lesu,  kredit  modal  kerja,yang pelunasannya  berasal  dari  arus  kas  nasabah  debitur,  akan  menjadi tidak lancar.

c)    Kredit    jangka    pendek    dapat    menjadi    jangka    panjang    melalui perpanjangan waktu secara terus menerus

d)   Dalam      perekonomian      yang      semakin      maju,      kredit      jangka menengah/panjang akan menjadi semakin penting dan dibutuhkan

e)   Teori ini mengabaikan kenyataan bahwa dalam keadaan normal atau stabil, sumber-sumber dana bank, misalnya : giro, deposito, tabungan dan sebagainya, memungkinkan untuk disalurkan sebagai kredit yang jangka waktunya lebih panjang.

Secara implisit teori ini menganggap bahwa likuiditas dapat terpenuhi dengan  hanya  mengandalakan  sumber  dari  pelunasan  dan  atau pembayaran kredit oleh nasabah. Padahal penarikan simpanan dan pencairan kredit dapat melebihi likuiditas yang hanya bersumber dari pelunasan kredit.

2.       Shiftability theory.

Teori ini beranggapan bahwa likuiditas sebuah bank tergantung pada kemampuan bank untuk memindahkan aktivanya ke orang lain dengan harga yang dapat diramalkan.

Pada tahun 1920-an, bank mengembangkan teori likuiditas sebagai reaksi dari banyaknya kelemahan pada teori commercial loan, yaitu doctrine of asset shiftability. Menurut teori ini, bank dapat segera memenuhi kebutuhan likuiditasnya dengan memberikan shiftable loan atau call loan, yaitu pinjaman yang harus dibayar dengan pemberitahuan satu atau beberapa hari sebelumnya dengan jaminan surat surat berharga. Oleh karena itu, apabila bank membutuhkan likuiditas pada suatu waktu, maka kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan melakukan penagihan kepada peminjam atau debitur. Peminjam kemudian dapat melunasi pinjaman tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara mengalihkan (shifting) pinjamannya tersebut kepada bank lain. Apabila karena satu dan lain alasan pinjaman tersebut tidak dapat dibayar kembali, maka bank dapat menjual barang jaminan berupa surat-surat berharga untuk pelunasannya. Doktrin ini akan dapat berfungsi apabila pasar keuangan sudah berkembang dan cukup aktif (likuid), dengan pengertian bahwa berapapun jumlah permintaan dan penawaran dapat diserap oleh pasar.

Kelemahan  teori  ini  adalah  apabila  dalam  waktu  yang  bersamaan bank-

bank membutuhkan likuiditas dan menjual jaminan surat-surat berharga tersebut untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Dalam situasi seperti ini, bukan saja akan menyebabkan kredit tersebut tidak dapat dialihkan,


 

tapi juga akan menyebabkan turunya harga surat berharga karena bank- bank menjual jaminannya (surat berharga) dalam waktu yang bersamaan.

3.       Anticipated income theory.

Disebut juga teori pendapatan yang diharapkan. Teori ini berkesimpulan bahwa sama sekali benar bagi sebuah bank untuk memberikan pinjaman- pinjaman jangka panjang dan pinjaman-pinjaman bukan untuk dagang.

Pada decade 1930 an dan 1940 an bank-bank mengembangkan teori baru yang  disebut  dengan  anticipated  income  theory.  Teori  ini  menyatakan bahwa bank-bank seharusnya dapat memberikan kredit jangka panjang dimana pelunasannya, yaitu cicilan pokok pinjaman ditambah bunga, dapat diharapkan dan dijadwalkan pembayarannya pada waktu yang akan datang sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Jadwal pembayaran kembali nasabah berupa angsuran pokok dan bunga akan memberikan cash flow secara teratur yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank. Timbulnya teori ini diawali oleh rendahnya permohonan kredit kepada bank yang mengakibatkan terjadinya kelebihan likuiditas dan rendahnya keuntungan yang diperoleh bank , khususnya pada saat terjadi depresi ekonomi. Dengan diperkenalkannya anticipated theory, bank-bank terdorong untuk lebih agresif dengan berani memberikan kredit yang berjangka panjang, misalnya: kredit real etate, kredit investasi dan kredit konsumsi.

Kelemahan anticipated income theory yaitu, teori ini menganggap semua kredit dapat ditagih sesuai dengan waktu yang dijadwalkan tanpa memperhatikan kemungkinan terjadinya kegagalan pengembalian kredit oleh debitur akibat factor ekstrern dan atau intern. Factor – factor ekstern terjadi diluar kendali nasabah, misalnya terjadi resesi ekonomi yang berkepanjangan dan kebijakan pemerintah yang kurang mendukung. Factor intern antara lain terjadinya mismanagement atau karena kurangnya tenaga yang berpengalaman dan terampil dalam perusahaan. Teori likuiditas ini sulit diharapkan sebagai sumber likuiditas minimum dan memenuhi kebutuhan permintaan kredit yang segera harus dipenuhi.

4.      Liabilty   management   theory.   Teori   ini   melihat   struktur   aktiva   bank mempunyai peran mencolok yang harus dimainkan dalam menyediakan likuiditas untuk bank. Teori ini juga terus melampaui cara pendekatan dengan satu dimensi dan menyatakan bahwa bank juga dapat menggunakan aktivanya untuk tujuan-tujuan likuiditas.

No comments:

Post a Comment

LEIDEN IS LIJDEN: BELAJAR LEADERSHIP DARI KELUARGA KECIL IBRAHIM A.S

  Hisahito Rahmat Dakwansyah Ketika kita bicara kepemimpinan, pikiran kita sering melayang pada sosok yang memimpin negara, memenangi pepera...