Wednesday, 18 June 2025

LEIDEN IS LIJDEN: BELAJAR LEADERSHIP DARI KELUARGA KECIL IBRAHIM A.S

 

Hisahito Rahmat Dakwansyah

Ketika kita bicara kepemimpinan, pikiran kita sering melayang pada sosok yang memimpin negara, memenangi peperangan, atau menggiring massa dalam perubahan besar. Namun, Al-Qur’an menawarkan sudut pandang yang berbeda: Nabi Ibrahim A.S., seorang yang digelari kekasih Allah (khalilullah), justru lebih banyak ditampilkan dalam lanskap kehidupan keluarga kecil. Ia tidak dikisahkan menaklukkan wilayah atau memerintah sebuah kerajaan, tapi justru mendidik anak, berinteraksi dengan istri, dan membangun rumah Tuhan bersama keturunannya. Dari sinilah kita belajar bahwa kepemimpinan sejati bisa dimulai dari ruang paling privat—keluarga—dan justru berdampak paling luas dalam sejarah peradaban manusia.


Dalam Al-Qur’an, kita menyaksikan bagaimana Nabi Ibrahim mendidik pamannya sendiri, Azar, dengan penuh logika dan kelembutan dalam berdakwah. Saat berhadapan dengan raja yang zalim, ia menggunakan pendekatan diplomatik—menghadirkan tauhid bukan dengan kemarahan, melainkan dengan argumentasi. Namun, titik penting dari kisah Ibrahim adalah bagaimana ia menanti seorang anak dengan sabar hingga usia yang sangat lanjut. Puluhan tahun ia menanti buah hati dari Siti Sarah, lalu menerima perintah Allah untuk membawa Siti Hajar dan Ismail kecil ke tanah tandus. Semua episode ini bukan sekadar romantika spiritual, tapi rangkaian proses pendidikan ilahiyah tentang kepemimpinan berbasis keteguhan iman dan pengorbanan.


Dialog Penuh Cinta antara Ayah dan Anak

Salah satu kisah paling menyentuh dari Nabi Ibrahim adalah ketika ia menyampaikan kepada Ismail kecil tentang perintah Allah untuk menyembelihnya. Namun, alih-alih menyampaikan secara otoriter, Ibrahim menggunakan sapaan penuh cinta: “Yaa bunayya, innii araa fil-manaami annī azbahuka, fandhur mādzā tarā”—“Wahai anakku tersayang, aku melihat dalam mimpi bahwa aku harus menyembelihmu, maka pikirkanlah, apa pendapatmu?”


Ismail pun membalas dengan ketenangan luar biasa: “Yā abati, if‘al mā tu’mar, satajidunī in syā-Allāhu minash-shābirīn”—“Wahai ayahku tersayang, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Dialog ini mengajarkan bahwa kepatuhan tidak selalu dibentuk dari tekanan, tapi bisa lahir dari cinta, pendidikan, dan keteladanan. Hubungan antara ayah dan anak ini menjadi fondasi kepemimpinan Islam yang penuh adab dan kelembutan.


Kepemimpinan Pedagogik vs. Demagogik, Berkaca dari Ibrahim dan Ismail

Kisah Ibrahim dan Ismail merepresentasikan apa yang disebut sebagai kepemimpinan pedagogik—yaitu kepemimpinan yang mendidik, membentuk kesadaran, dan mengedepankan dialog. Kontras dengan model demagogik, yang menanamkan ketakutan, menggunakan manipulasi, dan menuntut ketaatan buta atas nama kekuasaan.


Dalam konteks hari ini, banyak pemimpin yang jatuh dalam jebakan demagogi. Mereka lebih sibuk menciptakan simbol ketakutan, memaksakan loyalitas tanpa literasi, dan menghindari kritik sebagai musuh. Padahal, seperti Ibrahim, seorang pemimpin semestinya mencerdaskan umatnya, agar ketaatan tumbuh dari pemahaman, bukan paksaan. Seorang pemimpin bukan hanya komandan, tapi juga guru, teladan, dan pembina jiwa.


Leiden is Lijden: Memimpin adalah Menderita

Dalam bahasa Belanda, ada ungkapan lama yang sangat relevan: “Leiden is Lijden”—memimpin adalah menderita. Kepemimpinan sejati bukan tentang duduk di singgasana, melainkan tentang bersedia menanggung derita umat. Nabi Ibrahim menjadi contoh nyata betapa memimpin bukan perkara nyaman. Ia harus meninggalkan istri dan anak di padang gersang, diuji dengan perintah menyembelih anaknya sendiri, dan terus menerus mempertaruhkan perasaannya demi menjalankan misi Ilahi.


Kepemimpinan yang benar bukan tentang menghindar dari rasa sakit, tapi tentang bersedia memikul beban demi kemaslahatan banyak orang. Dari sinilah muncul keagungan, karena hanya mereka yang bersedia menderita demi umat, yang pantas menerima amanah memimpin.


Penutup: Membangun Peradaban dari Rumah

Doa Nabi Ibrahim dalam Al-Qur’an sangat menarik: “Rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyaatinaa qurrata a’yun, waj‘alnaa lil muttaqiina imaamaa”—“Ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami pasangan hidup dan keturunan yang menyejukkan hati, dan jadikan kami pemimpin bagi orang-orang bertakwa.” Doa ini menunjukkan bahwa peradaban besar dibangun dari keluarga. Bahwa kepemimpinan bertakwa dimulai dari mendidik anak dengan penuh cinta, membangun dialog dengan pasangan, dan menyemai nilai-nilai ilahiah dalam lingkup yang paling kecil.


Hari ini, ketika bangsa ini terus mencari sosok pemimpin yang kuat namun lembut, tegas namun penuh kasih, kita bisa bercermin pada keluarga Ibrahim. Di sanalah, kepemimpinan sejati tidak ditulis dengan tinta kekuasaan, melainkan dengan air mata pengorbanan dan cinta yang dalam.

LEIDEN IS LIJDEN: BELAJAR LEADERSHIP DARI KELUARGA KECIL IBRAHIM A.S

  Hisahito Rahmat Dakwansyah Ketika kita bicara kepemimpinan, pikiran kita sering melayang pada sosok yang memimpin negara, memenangi pepera...