Pada zaman dinasti Tang, Ibu dari
pejabat Lee seumur hidupnya sangat jujur, cara mendidik anaknya sangat
disiplin, walaupun anaknya sudah menjadi pejabat, ajarannya juga tetap
ketat dan disiplin, tidak boleh serakah, hal pribadi dan dinas harus
dibagi dengan jelas.
Setelah Lee Fan menjadi pejabat, dia mendapat jatah beras, setelah
dibawa pulang dan ditimbang, beras tersebut kelebihan 3 kg. Setelah
ditanya kepada pejabat yang membagi jatah beras mengapa hal tersebut
dapat terjadi?, pejabat tersebut menjawab, “ Ini adalah hal yang biasa,
sewaktu menimbang beras biasanya ditimbang lebih sedikit, oleh sebab
itu hal tersebut terjadi.” Ibu Lee bertanya lagi, “Kalau begitu supir
yang mengantar beras ini harus dibayar berapa?.” Pejabat tersebut
menjawab, “Kalau supir yang mengantar beras ini tidak perlu dibayar.”
Ibu Lee sangat marah, dia lalu memanggil anaknya dan memarahinya dan
memerintah anaknya mengembalikan kelebihan beras 3 kg sekalian membayar
uang kepada supir yang mengantar beras.”
Lee Fan lalu pergi mengembalikan beras tersebut kepada pejabat
tersebut, dan menceritakan kepada atasan pejabat tersebut didikan ibunya
yang ketat selama ini, pada saat itu pejabat yang berada dilapangan
setelah mendengar perkataan dan didikan dari ibu Lee Fan, mereka semua
merasa sangat malu.
“Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga” kesalahan yang kecil
adalah sumber akar dari kejahatan besar. Pribahasa ini semua orang
telah mengerti, tetapi sewaktu menghadapi masalah, mengetahui sumber
kejahatan ini apakah semua orang bisa mengatasinya dan mencegah/membasmi
akar dari kejahatan ini?.
Menjadi seorang pejabat, menerima kelebihan dari beras, dan memakai
supir tidak usah membayar semua ini bagi mereka sudah merupakan hal yang
biasa, mereka merasa tidak ada hal yang salah.
Tetapi jika hal ini diteruskan maka dari hal yang kecil, bisa menjadi
hal yang besar, menerima sedikit kemudian menjadi menginginkan lebih
banyak lagi, semakin lama semakin menjadi serakah, dari pejabat kecil
menerima yang kecil, semakin tinggi jabatannya tentunya menginginkan
lebih banyak lagi, semua ini yang menjadikan mereka menjadi koruptor.
(Erabaru/hui)
No comments:
Post a Comment